Kamis, 26 April 2012

Laporan Pendahuluan CHF


BAB I
PENDAHULUAN
  1. latar belakang Masalah
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafas ), fatik ( saat istirahat atau aktivitas ), dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi jantung. Istilah gagal jantung atau dekompensasi kordis sering disebut gagal jantung kongestif (smeltzer 2001).
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. Dimana jenis penyakit gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anak – anak yang menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum umur 1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun.

  1. Rumusan masalah
  1. Apa definisi gagal jantung kongestif ?
  2. Mengapa seseorang bisa mengalami gagal jantung kongestif ?
  3. Bagaimana tanda dan gejala gagal jantung kongestif ?
  4. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien gagal jantung kongestif ?


  1. Tujuan penulisan
  1. Untuk menjelaskan definisi gagal jantung kongestif
  2. Untuk menjelaskan penyebab penyakit gagal jantung kongestif , tanda dan gejala serta patofisiologinya dalam tubuh.
  3. Untuk menjelaskan apa saja obat-obatan untuk pasien gagal jantung kongestif .

BAB II
TINJAUAN TEORI

  1. Definisi
Suatu kegagalan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Purnawan Junadi, 1982).
Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat akhir dari gangguan jantung, pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam darah yang mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada berbagai organ (Ni Luh Gede Yasmin, 1993).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupakelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya adakalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif(Kabo & Karim, 2002).
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer & Bare, 2001), Waren & Stead dalam Sodeman,1991), Renardi, 1992).

  1. Tanda dan Gejala
Menurut Arif masjoer 2001 Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral
Gagal Jantung Kiri
a. Dispneu
b. Orthopneu
c. Paroksimal Nokturnal Dyspneu
d. Batuk
e. Mudah lelah
f. Gelisah dan cemas
Gagal Jantung Kanan
a. Pitting edema
b. Hepatomegali
c. Anoreksia
d. Nokturia
e. Kelemahan

  1. Etiologi
Penyebab gagal jantung kongestif menurut Arif masjoer 2001, antara lain :
  1. Diafungsi miokard, endokard, pericardium
  2. Disfungsi pembulu darah besar
  3. Kardiomiopati
  4. Hipertensi
  5. Penyakit jantung congenital

  1. Patofisiologi
Kelainan intrinsic pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolic ventrikel), maka terjadi pula pengingkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vascular paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vascular, maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru.
Tekana arteria paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katup atrioventrikularis, atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang (smeltzer 2001).

penatalaksanaan Medis
  1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas
  2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
  3. Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tiroksikosis, miksedema, dan aritmia digitalisasi
  1. Dosis digitalis :
  • Digoksin oral digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari
        1. Digoksin iv 0,75 mg dalam 4 dosis selama 24 jam
        2. Cedilanid> iv 1,2-1,6 mg selama 24 jam
  • Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
  • Dosis penunjang digoksin untuk fiblilasi atrium 0,25 mg.
  • Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat :
  1. Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan
  2. Cedilanid> 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan
Cara pemberian digitalis
Dosis dan cara pemberian digitali bergantung pada beratnya gagal jantung. Pada gagal jantung berat dengan sesak napas hebat dan takikardi lebih dari 120/menit, biasanya diberikan digitalis cepat. Pada gagal jantung ringan diberikan digitalis lambat. Pemberian digitalis per oral paling sering dilakukan karena paling aman. Pemberian dosis besar tidak selalu perlu, kecuali bila diperlukan efek meksimal secepatnya, misalnya pada fibrilasi atrium rapi respone. Dengan pemberian oral dosis biasa (pemeliharaan), kadar terapeutik dalam plasma dicapai dalam waktu 7 hari. Pemberian secara iv hanya dilakukan pada keadaan darurat, harus dengan hati-hati, dan secara perlahan-lahan.
  1. Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretic (mis : furosemid 40-80 mg, dosis penunjang rata-rata 20 mg), dan vasodilator (vasodilator, mis : nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 ug/kgBB/menit iv, nitroprusid 0,5-1 ug/kgBB/menit iv, prazosin per oral 2-5 mg, dan penghambat ACE : captopril 2x6,25 mg).
  1. Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, tetapi hati-hati depresi pernapasan.     
  2. Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal jantung untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel.

E. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
  1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan structural
  2. Pola nafas inefektif berhubungan dengan Menurunnya pengembangan paru akibat splenomegaly dan hepatomegaly
  3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi.
  4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan membran kapiler-alveolus
F. Nursing Outcomes Classificatio
 a. Cardiac pump effectiveness
Criteria hasil :
  1. Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung
  2. Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina,
  3. Tidak ada penurunan kesadaran
  4. Tidak ada edema paru, perifer,dan tidak ada asites
  5. Tidak ada kelelahan ,dapat mentoleransi aktivitas
b. Respiratory status : ventilation
Criteria hasil :
  1. Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda distress pernafasanT
  2. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih ,tidak ada sionosis dan dispnea
  3. Menunjukakan pola nafas yang efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentan normal.
  4. RR : 16 – 22 permenit
c. Activity tolerance
Criteria hasil :
  1. Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,
  2. Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
d. Respiratory status : gas exchange
Criteria hasil : 
1. klien mampu mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan. 
2. Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.

  1. Nursing intervention classification 
    a. Cardiac care
  • evaluasi adanya nyeri dada(intensitas,local,durasi)
  • catat adanya disritmia jantung
  • Catat tanda dan gejala penurunan cardiac output
  • monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
  • monitor adanya dispnea,fatigue, takipnea danortpnea
b. Airway management
  • buka jalan nafas
  • posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
  • identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan bantu nafas
  • keluarkan secret dengan batuk efektif, kalau perlu
  • Auskultasi adanya suara nafas tambahan
  • monitor respirasi dan status O2
c. activity therapy
  • kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medic dalam merencanakan program terapi yang tepat
  • bantu klien untukmengindentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
  • monitor respon fisik ,emosi,social, dan spiritual.
d. Respiratory monitoring
  • monitor rata-kedalaman ,irama dan usaha respirasi
  • catat adanya pergerakan dada,
  • monitor pola nafas :bradipnea,takipnea,kussmaul,hiperventilasi

1 komentar: